FIQH
2.1.
Pengertian Fiqh
Menurut bahasa (etimologi), kata fiqh berasal dari bahasa Arab الفهم yang berarti paham, seperti pernyataan “فقهت الدرس” yang berarti “saya memahami pelajaran
itu”. Arti ini sesuai dengan arti fiqh dalam salah satu hadist yang
diriwayatkan oleh imam bukhori :
من
يرد الله خيرا يفقهه في الدين
Artinya : “Barang
siapa yang dikehendaki Allah Swt, menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya
diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan agama”.
Menurut
terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakuo
seluruh ajaran agam, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni
sama dengan arti syariah Islamiyyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya fiqh
diartikan sebagai bagian dari syariah islamiyyah yaitu pengetahuan tentang
hukum syariah islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah
dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.[1]
Fiqh
Islam mencakup seluruh perbuatan manusia, karena kehidupan manusia meliputi
segala aspek. Fiqh Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah
syariatkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka
dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqh Islam datang
mempraktikkan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta
hukum-hukumnya. Untuk memudahkan pembahasan maka hukum fiqh diuraikan menjadi
beberaoa bagian :
1.
Fiqh
Ibadah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah.
2.
Fiqh
Al Ahwal As Sakhsiyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga
3.
Fiqh
Muamalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan
diantara sesama manusia
4.
Fiqh
Siasah Syar’iyyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
pemimpin (kepala negara)
5.
Fiqh
Al-‘Uqubat yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap
pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban
6.
Fiqh
As Siyar yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri
lainnya
7.
Fiqh
Akhlak atau adab yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan perilaku.[2]
2.2.
Sejarah Fiqh Islam
Tarikh
tasyri’ atau sejarah fiqh Islam pada hakekatnya tumbuh dan berkembang pada masa
Nabi sediri. Karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum
dan berakhir dengan wafatnya nabi. Turunnya syariat dalam proses munculnya
hukum-hukum syariah hanya terjadi pada era kenabian. Sebab syariat itu turun
dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah nabi wafat.
Maka
dari sinilah kita memahami bahwa kerja para fuqaha’ dan mujtahid bukan membuat
tapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar.
Sumber-sumber hukum Islam yang menjadi rujukan para mujtahid dalam mencari
hukum-hukum syari’iyyah adalah wahyu, baik itu dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah[3].
2.2.1.
Perkembangan Fiqh Pada Masa Rasulullah
Pada
masa Nabi Muhammad Saw ini semua permasalahan fiqih dikembalikan kepada Rasul.
Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah Swt. Namun
demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat menggunakan pendapatnya
dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada hadist Muadz bin
Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman,
sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada muadz :
“Sesungguhnya Rasulullah Saw.
Mengutus Muadz ke Yaman, kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal :
bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab : akan saya putuskan
berdasarkan kitab Allah, Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam
kitabullah?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul Saw, nabi
bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul Saw?, ia
menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi bersabda: segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah Saw” (HR.Tirmidzi)
Dari
keterangan diatas dapat difahami bahwa ushul fiqh secara teori telah digunakan
oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu belum menjadi nama keilmuan
tertentu. Periode sejarah Fiqh masa
Rasulullah dimulai pada saat :
2.2.1.
Masa
Mekkah dan Madinah
Pada
periode ini dumulai memeliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
ilmu fiqh. Pada masa Mekkah, Rasulullah mengarahkan untuk memperbaiki akidah.
Karena akidah yang benar merupakan pondasi dalam hidup. Oleh karena itu dapat
kita fahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai da’wahnya dengan mengubah
keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang berakidah tauhid,
membersihkan hati dan menghiasi diri dengan akhlak al-karimah.
Pada
masa di madinah yang merupakan tempat baru bagi kaum muslimin dan bertambah
banyaknya kaum muslimin maka mulai terbentuklah berbagai masalah-masalah atau
persoalan yang membutuhkan cara pengaturan, baik dalam hubungan antara individu
maupun hbungan dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat Madinah. Maka dari
itu disyaratkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.[4]
2.2.2.
Perkembangan Fiqh Masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad Saw sampai pada masa berdirinya dinasti Umayyah. Pada periode ini,
para faqih mulai berbenturan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada
masyarakat Islam kala itu. Menurut penelitian Ibnu Qayim, tidak kurang dari 130
orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat
tentang hukum.
Pada masa berkuasanya Mu’awiyyah bin
Abi Sufyan sampai sekitar abad ke 2 hijriyah. Rujukan dalam menghadapi suatu
permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-qur’an dan As-Sunnah dan ijtihad para faqih. Tapi proses
musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini sering kali terkendala
disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut
oleh kekhalifahan Islam.
Pada masa ini, mulailah ada
perpecahan antara umat Islam menjadi 3 golongan yaitu Sunni, Syiah dan
Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar terhadap ilmu fiqh, karena akan
muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih. Pada
masa ini para faqih seperti Ibnu Mas’ud mulai menggunakan nalar dalam
berijtihad[5].
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin
ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu yang berhubungan dengan
perkembangan hukum Islam, yaitu :
a.
begitu
banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum secara lahiriah
yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun hadist.
b.
Timbulnya
masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an
maupun hadist, namun ketentuan tersebut dalam keadaan tertentu sulit untuk
diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan
persoalan yang dihadapi.
c.
Dalam
Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas akan tetap
terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam keadaan tertentu maka para sahabat
kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada[6].
2.2.3.
Perkembangan Fiqh pada Abad ke 2 sampai ke 4
Periode ini disebut sebagai periode
gemilang karena iqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah
muncul berbagai madzab, khususnya madzab yang empat yaitu madzab hanafi,
maliki, syafi’i dan hambali. Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode
ini dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzab fiqh resmi negara. Pada
periode ini fiqh semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh
tidak lagi menggunakan pendekatan aktual dikala itu, tetapi mulai bergeser pada
pendekatan teoritis.
Masa ini adalah masa kecermelangan
hukum Islam (fiqh). Pada masa ini, fiqh telah berkembang dan menjadi ilmu yang
mandiri. Masa ini juga ditandai dengan mulai dirintisnya ilmu fiqh, perumusan
metodologi serta kaidah-kaidah ijtihad yang dipakai para mujtahid dalam
pengambilan hukum. Para imam madzab datang dengan tawaran metodologis yang
matang. Pada masa ini banyak melahirkan para imam-imam mujtahid, imam madzab
dan para fuqoha yang mengabdikan ilmunya untuk agama dan masyarakat[7]
2.2.4. Perkembangan
Fiqh Abad ke 4 Sampai Abad ke 7
Periode ini dikenal dengan
dikenalnya tahrir, takhrij dan tarjih merupakan upaya yang dilakukan ulama
masing-masing madzab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para
imam mereka. Mustafa Ahmad Az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk
pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Ada tiga
faktor munculnya pernyataan tersebut diantaranya:
a.
Dorongan
para penguasa kepada para hakim untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan
merujuk pada salah satu madzab yang disetujui khalifah
b.
Munculnya
sikap at-taassub al-madzhabi yang berakibat pada kemujudan dan taqlid
di kalangan murid imama madzhab
c.
Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat madzhabnya
2.2.5.
Perkembangan Fiqh Abad Ke 7
Pada periode ini muncul gerakan
kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai madzhab resmi pemerintah. Hal ini
ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani seperti majalah al-ahkam
al-adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku diseluruh
kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh madzhab Hanafi.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan
ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini diantaranya :
a.
Munculnya
upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman
b.
Munculnya
upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali
dengan madzhab fiqh tertentu
c.
Perkembangan
selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh cenderung untuk melihat
berbagai madzhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak di pisahkan.
Studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang
dijumpai dalam kitab fiqh karangan Imam Syafi’i (Al-Umm), Al-Mabsuth karangan
As-Syarakhsi, Al-Furuq karangan Imam Qarafi dan Al-Mughni karangan Ibnu
Muqadam. Di zaman modern, fiqih muqaram di bahas ulama secara konprehensif dan
utuh dengan mengemukakan inti, perbedaan, pendapat, dan argumentasi, serta
kelebihan dan kelemahan masing masing madzhab, sehingga pembaca dapat mudah
memilih pendapat yang akan diambil[8]
2.3. Pembagian
Fiqh
Berdasarkan definisi fiqh yang
dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi obyek bahasan ilmu fiqh adalah setiap
perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan hukumnya. Nilai perbuatan
itu bisa berbentuk wajib, mubah, haram dan makruh.
Disamping itu, Bidang bahasan ilmu
fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah amaliyah. Pengetahuan
terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf
dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus untuk mengetahui nilai dari perkataan
dan perbuatan para mukallaf tersebut.
Ulama fiqh membagi hukum fiqh dengan
pembagian sebagai berikut :
a.
hukum
yang berkaitan dengan Ibadah Mahdlah (Khusus) yakni mengatur hukum
persoalan ibadah manusia dengan Allah Swt.
b.
Hukum
yang berkaitan dengan masalah muamalah yakni persoalan hubungan sesama manusia
dalam rangka memenuhi kebutuhan material dan hak masing-masing
c.
Hukum
yang berkaitan dengan masalah keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyyah)
d.
Hukum
yang berkaitan dengan tindak pidana (Jinayah atau jarimah dan ‘Uqubah)
e.
Hukum
yang berkaitan dengan persoalan peradilan dan penyelesaian perkara hak dan
kewajiban sesama manusia (ahkam al-qadla)
f.
Hukum
yang berkaitan dengan masalah pemerintah dan yang mengatur hubungan antara
penguasa dan rakyat (al-ahkam as-sultaniyyah atau siyasah syar’iyyah)
g.
Hukum
yang mengatur hubungan antar negara dalam keadaan perang dan damai (al-ahkam
ad-dauliyyah)
h.
Hukum
yang berkaitan dengan persoalan akhlak (al-adab)[9]
2.4. Sumber-Sumber
Fiqh dan Metode Jihad
Dari sejarahnya fiqh dapat diketahui
mempunyai sumber. Sumber fiqh yang utama adalah Al-Qur’am dan Sunnah. Jika
tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka para sahabat ahli fiqh
melakukan ijtihad dengan ra’yu. Pengertian ijtihad adalah pengerahan
maksimal kemapuan utnuk membahas hkum syariat tentang suatu kejadian uang tidak
diterangkan hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan
akal pikiran.
Kemudian para ahli fiqh dan suhul
fiqh meneliti secara lebih rinci maksud ijtihad dengan ra’yu yang sering
dilakukan para sahabat. Dan ijtihad dengan ra’yu itu meliputi :
a.
Menafsirkan
nash (teks) Al-qur’an dan Sunnah
b.
Menetapkan
hukum dengan maslahat, qiyas, istihsan atau lainnya[10]
Metode Ijtihad yang digunakan adalah dengan menggunakan :
a.
Qiyas
Secara
bahasa, qiyas berasal dari bahasa Arab yaitu قياس
yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Qiyas juga diartikan dengan
mengkur suatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya[11].
Secara istilah, pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan
hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an an Sunnah dengan cara
membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash[12].
Berdasarkan
definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada
di nash, maka rukun qiyas ada empat macam yaitu :
1.
Al-Ashl
(Pokok)
Ashl adalah
masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Adapun
syarat-syarat ashl yakni :
i. Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap
ii. Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
iii. Ashl itu bukan merupakan furu’ dari ashl lainnya
iv. Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus
v. Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
vi. Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas
2.
Furu’
(Cabang)
Furu yang
berarti cabang berarti adalah suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya
karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Adapun
syarat-syarat furu’ adalah :
i. Tidak bersifat khusus
ii. Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan qiyas
iii. Tidak ada nash yang menjelaskan hukum furu’ yang ditentukan
iv. Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu’
3.
Hukum
Ashl
Illat yaitu
suatu sebab yang menjadikan adanya hukum suatu. Dengan persamaan inilah baru
dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl)
karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
Adapaun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah :
i. Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya mapun
pada jenisnya
ii. Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
iii. Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl
iv. Tidak ada nash atau ijam’ yang menjelaskan hukum furu’ itu
4.
Illat
Illat secara
bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut
illat karena merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut Abdul
Wahhab Khallaf illat adalah suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan
adanya hukum. Adapapun syarat-syarat illat adalah :
i. Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak
ii. Illat harus kuat
iii. Harus ada korelasi antara hukum dengan sifat yang menjadi illat
iv. Sifat yang menjadi illat yang kemudian menjadi qiyas harus
berjangkauan luas
v. Tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil[13]
b.
Maslahah
Mursalah
Maslahah
mursalah menurut bahasa berarti prinsip kemaslahatan yang dipergunakan
menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang
mengandung nilai baik (bermanfaat). Menurut Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa
maslahah mursalah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh
Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya,
akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Syarat-Syarat
Maslahah Mursalah adalah sebagai berikut :
i.
Maslahah
itu harus hakikat, bukan dugaan
ii.
Maslahah
harus bersifat umum dan menyeluruh
iii.
Maslahah
itu harus sejalan dengan tujuan hukum yang dituju oleh syar’i
iv.
Maslahah
itu bukan maslahah yang tidak benar[14]
c.
Urf
(Adat)
Kata
urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering diartikan dengan al-ma’ruf dengan
arti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah
dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak
melakukan sesuatu.
Menurut
Ibnu Humamdan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Dari
adanya ketentuan urf atau adat itu sesuatu yang harus dikenali, diakui dan
diterima oleh banyak orang sehingga terlihat ada kemiripan dengan Ijma’.
Para
ulama menggunakan urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum,
menetapkan beberapa persyaratan untuk urf tersebut yakni :
i. Adat atau urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat
ii. Adat atau urf berlaku umum dan merata dikalang orang yang berada di
lingkungan adat itu
iii. Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada
(berlaku) pada saat itu bukan urf yang muncul kemudian.
iv. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti[15].
d.
Istishab
Kata
istishab secara estimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat
istif’ala (استفعال) yang bermakna استمر ارالصحبة kalau kata الصحبة
diartikan dengan teman atau sahabat dan استمارار
diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara
lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Sedangkan secara
terminologi, terdapat definisi yang dikemukakan oleh Imam Nahrawi menyatakan
bahwa Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada orang lain yang mengubah
hukum-hukum tersebut[16].
Istishab
memiliki beberapa persyaratan yang mana diantaranya adalah :
1.
Syafi’iyyah
dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang
baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhask terhadap haknya terdahulu.
2.
Hanafiyah
dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak
terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak
untuk mentasbitkan[17].
e.
Adz-Dzari’ah
Arti
“adz Dzari’ah” adalah jalan (wasilah) menuju sesuatu. Jalan yang dimaksud
disini ialah jalan menuju hukum syariat Islam. Ringkasnya dalam syariat Islam
terdapat dua segi, yakni tujuan dan wasilah menuju tujuan. Hukum
wasilah mengikuti hukum tujuan. Dasar kesimpulan tersebut ialah penelitian.
Karena terbukti apabila Allah Swt melarang sesuatu, Ia juga melarang semua yang
akan menyampaikan kepadanya.[18]
[1]
Rahmat Syafe’i, Fiqh Mu’amalat, Bandung,Pustaka Setia, 2004
[2]
Susanto SHI, https://susantoshi.wordpress.com/2009/05/05/pengertian-fiqih-islam/
[3]
http://shohifu.blogspot.co.id/2013/05/perkembangan-fiqih-pada-masa-kenabian.html
[5]
https://islamislami.com/2016/03/30/sejarah-perkembangan-fiqih-islam/
[6]
http://pandawa-muhammadthoyyib.blogspot.co.id/2012/01/perkembangan-fiqh-pada-masa-khulafaur.html
[7]
Khallaf, Abdul Wahhab, Perkembangan
Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
[8]
Moh, Andi Afandi, Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh, UIN Sunan Gunung
Djati;Bandung, 2009
[9]
http://mribonkblogg.blogspot.co.id/2011/06/objek-ilmu-fiqh-dan-pembagian-hukum.html
[10]
Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al ijtihad Fi Al Islam, Kuwait
[11]
Romli, Ushul Fiqh, Palembang; IAIN Raden Patah Press, 2006, hal 84
[12]
Seri, Ushul fiqih, Jakarta; PT.Bumirestu, 1980, hal 18
[13]
http://www.iswahyudi-wahyu.top/2016/04/al-qiyas-pengertian-syarat-rukun-macam.html
[14]
Drs. Chaerul Umam,Dkk, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia, 1998
[15]
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2
[16]
Safar, Muhammad, http://safarbrow.blogspot.co.id/2013/02/makalah-ushul-fiqih-istishab.html
[17]
ibid
[18]
ibid
No comments:
Post a Comment