Sunday, September 10, 2017

PENGERTIAN, PEMBAGIAN FIQH



FIQH
2.1.              Pengertian Fiqh
Menurut bahasa (etimologi), kata fiqh berasal dari bahasa Arab الفهم yang berarti paham, seperti pernyataan “فقهت الدرس” yang berarti “saya memahami pelajaran itu”. Arti ini sesuai dengan arti fiqh dalam salah satu hadist yang diriwayatkan oleh imam bukhori :
من يرد الله خيرا يفقهه في الدين
Artinya : “Barang siapa yang dikehendaki Allah Swt, menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan kepadanya pemahaman yang mendalam dalam pengetahuan agama”.
Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakuo seluruh ajaran agam, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah (ibadah), yakni sama dengan arti syariah Islamiyyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya fiqh diartikan sebagai bagian dari syariah islamiyyah yaitu pengetahuan tentang hukum syariah islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.[1]
Fiqh Islam mencakup seluruh perbuatan manusia, karena kehidupan manusia meliputi segala aspek. Fiqh Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syariatkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqh Islam datang mempraktikkan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya. Untuk memudahkan pembahasan maka hukum fiqh diuraikan menjadi beberaoa bagian :
1.       Fiqh Ibadah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah.
2.       Fiqh Al Ahwal As Sakhsiyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga
3.       Fiqh Muamalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara sesama manusia
4.       Fiqh Siasah Syar’iyyah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara)
5.       Fiqh Al-‘Uqubat yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban
6.       Fiqh As Siyar yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya
7.       Fiqh Akhlak atau adab yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan perilaku.[2]

2.2.              Sejarah Fiqh Islam
Tarikh tasyri’ atau sejarah fiqh Islam pada hakekatnya tumbuh dan berkembang pada masa Nabi sediri. Karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafatnya nabi. Turunnya syariat dalam proses munculnya hukum-hukum syariah hanya terjadi pada era kenabian. Sebab syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah nabi wafat.
Maka dari sinilah kita memahami bahwa kerja para fuqaha’ dan mujtahid bukan membuat tapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Sumber-sumber hukum Islam yang menjadi rujukan para mujtahid dalam mencari hukum-hukum syari’iyyah adalah wahyu, baik itu dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah[3].
2.2.1. Perkembangan Fiqh Pada Masa Rasulullah
Pada masa Nabi Muhammad Saw ini semua permasalahan fiqih dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah Swt. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada hadist Muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman, sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada muadz :
Sesungguhnya Rasulullah Saw. Mengutus Muadz ke Yaman, kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal : bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab : akan saya putuskan berdasarkan kitab Allah, Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam kitabullah?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul Saw, nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul Saw?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka nabi bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah Saw” (HR.Tirmidzi)
Dari keterangan diatas dapat difahami bahwa ushul fiqh secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu belum menjadi nama keilmuan tertentu.  Periode sejarah Fiqh masa Rasulullah dimulai pada saat :
2.2.1.              Masa Mekkah dan Madinah
Pada periode ini dumulai memeliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu fiqh. Pada masa Mekkah, Rasulullah mengarahkan untuk memperbaiki akidah. Karena akidah yang benar merupakan pondasi dalam hidup. Oleh karena itu dapat kita fahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai da’wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang berakidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan akhlak al-karimah.
Pada masa di madinah yang merupakan tempat baru bagi kaum muslimin dan bertambah banyaknya kaum muslimin maka mulai terbentuklah berbagai masalah-masalah atau persoalan yang membutuhkan cara pengaturan, baik dalam hubungan antara individu maupun hbungan dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat Madinah. Maka dari itu disyaratkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.[4]
2.2.2. Perkembangan Fiqh Masa Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw sampai pada masa berdirinya dinasti Umayyah. Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Menurut penelitian Ibnu Qayim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat tentang hukum.
Pada masa berkuasanya Mu’awiyyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke 2 hijriyah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-qur’an dan As-Sunnah  dan ijtihad para faqih. Tapi proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini sering kali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh kekhalifahan Islam.
Pada masa ini, mulailah ada perpecahan antara umat Islam menjadi 3 golongan yaitu Sunni, Syiah dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar terhadap ilmu fiqh, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih. Pada masa ini para faqih seperti Ibnu Mas’ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad[5].
Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin ada tiga hal pokok yang berkembang waktu itu yang berhubungan dengan perkembangan hukum Islam, yaitu :
a.       begitu banyaknya muncul kejadian baru yang membutuhkan jawaban hukum secara lahiriah yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an maupun hadist.
b.       Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun hadist, namun ketentuan tersebut dalam keadaan tertentu sulit untuk diterapkan dan menghendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkembangan dan persoalan yang dihadapi.
c.        Dalam Al-Qur’an ditemukan penjelasan terhadap suatu kejadian secara jelas akan tetap terpisah. Bila hal tersebut berlaku dalam keadaan tertentu maka para sahabat kesulitan dalam menerapkan dalil-dalil yang ada[6].


2.2.3. Perkembangan Fiqh pada Abad ke 2 sampai ke 4
Periode ini disebut sebagai periode gemilang karena iqh dan ijtihad ulama semakin berkembang. Pada periode inilah muncul berbagai madzab, khususnya madzab yang empat yaitu madzab hanafi, maliki, syafi’i dan hambali. Kitab-kitab fiqh pun mulai disusun pada periode ini dan pemerintah pun mulai menganut salah satu madzab fiqh resmi negara. Pada periode ini fiqh semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan dalam fiqh tidak lagi menggunakan pendekatan aktual dikala itu, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis.
Masa ini adalah masa kecermelangan hukum Islam (fiqh). Pada masa ini, fiqh telah berkembang dan menjadi ilmu yang mandiri. Masa ini juga ditandai dengan mulai dirintisnya ilmu fiqh, perumusan metodologi serta kaidah-kaidah ijtihad yang dipakai para mujtahid dalam pengambilan hukum. Para imam madzab datang dengan tawaran metodologis yang matang. Pada masa ini banyak melahirkan para imam-imam mujtahid, imam madzab dan para fuqoha yang mengabdikan ilmunya untuk agama dan masyarakat[7]

2.2.4. Perkembangan Fiqh Abad ke 4 Sampai Abad ke 7
Periode ini dikenal dengan dikenalnya tahrir, takhrij dan tarjih merupakan upaya yang dilakukan ulama masing-masing madzab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Mustafa Ahmad Az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Ada tiga faktor munculnya pernyataan tersebut diantaranya:
a.       Dorongan para penguasa kepada para hakim untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu madzab yang disetujui khalifah
b.       Munculnya sikap at-taassub al-madzhabi yang berakibat pada kemujudan dan taqlid di kalangan murid imama madzhab
c.        Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing madzhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat madzhabnya

2.2.5. Perkembangan Fiqh Abad Ke 7
Pada periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai madzhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani seperti majalah al-ahkam al-adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku diseluruh kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh madzhab Hanafi.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini diantaranya :
a.       Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman
b.       Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan madzhab fiqh tertentu
c.        Perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh cenderung untuk melihat berbagai madzhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak di pisahkan.
Studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh karangan Imam Syafi’i (Al-Umm), Al-Mabsuth karangan As-Syarakhsi, Al-Furuq karangan Imam Qarafi dan Al-Mughni karangan Ibnu Muqadam. Di zaman modern, fiqih muqaram di bahas ulama secara konprehensif dan utuh dengan mengemukakan inti, perbedaan, pendapat, dan argumentasi, serta kelebihan dan kelemahan masing masing madzhab, sehingga pembaca dapat mudah memilih pendapat yang akan diambil[8]

2.3. Pembagian Fiqh
Berdasarkan definisi fiqh yang dikemukakan ulama usul fiqh, yang menjadi obyek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf yang memiliki nilai dan telah ditentukan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib, mubah, haram dan makruh.
Disamping itu, Bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah amaliyah. Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus untuk mengetahui nilai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut.
Ulama fiqh membagi hukum fiqh dengan pembagian sebagai berikut :
a.     hukum yang berkaitan dengan Ibadah Mahdlah (Khusus) yakni mengatur hukum persoalan ibadah manusia dengan Allah Swt.
b.     Hukum yang berkaitan dengan masalah muamalah yakni persoalan hubungan sesama manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan material dan hak masing-masing
c.     Hukum yang berkaitan dengan masalah keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyyah)
d.     Hukum yang berkaitan dengan tindak pidana (Jinayah atau jarimah dan ‘Uqubah)
e.     Hukum yang berkaitan dengan persoalan peradilan dan penyelesaian perkara hak dan kewajiban sesama manusia (ahkam al-qadla)
f.      Hukum yang berkaitan dengan masalah pemerintah dan yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat (al-ahkam as-sultaniyyah atau siyasah syar’iyyah)
g.     Hukum yang mengatur hubungan antar negara dalam keadaan perang dan damai (al-ahkam ad-dauliyyah)
h.     Hukum yang berkaitan dengan persoalan akhlak (al-adab)[9]

2.4. Sumber-Sumber Fiqh dan Metode Jihad
Dari sejarahnya fiqh dapat diketahui mempunyai sumber. Sumber fiqh yang utama adalah Al-Qur’am dan Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka para sahabat ahli fiqh melakukan ijtihad dengan ra’yu. Pengertian ijtihad adalah pengerahan maksimal kemapuan utnuk membahas hkum syariat tentang suatu kejadian uang tidak diterangkan hukumnya secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan akal pikiran.
Kemudian para ahli fiqh dan suhul fiqh meneliti secara lebih rinci maksud ijtihad dengan ra’yu yang sering dilakukan para sahabat. Dan ijtihad dengan ra’yu itu meliputi :
a.       Menafsirkan nash (teks) Al-qur’an dan Sunnah
b.       Menetapkan hukum dengan maslahat, qiyas, istihsan atau lainnya[10]


Metode Ijtihad yang digunakan adalah dengan menggunakan :
a.     Qiyas
Secara bahasa, qiyas berasal dari bahasa Arab yaitu قياس yang artinya hal mengukur, membandingkan, aturan. Qiyas juga diartikan dengan mengkur suatu atas sesuatu yang lain dan kemudian menyamakan antara keduanya[11]. Secara istilah, pengertian qiyas menurut ahli ushul fiqh adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an an Sunnah dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash[12].
Berdasarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada di nash, maka rukun qiyas ada empat macam yaitu :
1.       Al-Ashl (Pokok)
Ashl adalah masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah. Adapun syarat-syarat ashl yakni :
                                                           i.     Hukum ashl adalah hukum yang telah tetap
                                                         ii.     Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
                                                        iii.     Ashl itu bukan merupakan furu’ dari ashl lainnya
                                                       iv.     Dalil yang menetapkan illat pada ashl itu adalah dalil khusus
                                                         v.     Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
                                                       vi.     Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas



2.       Furu’ (Cabang)
Furu yang berarti cabang berarti adalah suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Adapun syarat-syarat furu’ adalah :
                                                           i.     Tidak bersifat khusus
                                                         ii.     Hukum al-ashl tidak keluar dari ketentuan qiyas
                                                        iii.     Tidak ada nash yang menjelaskan hukum furu’ yang ditentukan
                                                       iv.     Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan daripada furu’

3.       Hukum Ashl
Illat yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum suatu. Dengan persamaan inilah baru dapat diqiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’. Adapaun syarat-syarat hukum al-Ashl adalah :
                                                           i.     Illatnya sama pada illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya mapun pada jenisnya
                                                         ii.     Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas
                                                        iii.     Hukum furu’ tidak mendahului hukum ashl
                                                       iv.     Tidak ada nash atau ijam’ yang menjelaskan hukum furu’ itu

4.       Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa merubah keadaan, misalnya penyakit disebut illat karena merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut Abdul Wahhab Khallaf illat adalah suatu sifat pada ashl yang mempunyai landasan adanya hukum. Adapapun syarat-syarat illat adalah :
                                                           i.     Illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak
                                                         ii.     Illat harus kuat
                                                        iii.     Harus ada korelasi antara hukum dengan sifat yang menjadi illat
                                                       iv.     Sifat yang menjadi illat yang kemudian menjadi qiyas harus berjangkauan luas
                                                         v.     Tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil[13]

b.     Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah menurut bahasa berarti prinsip kemaslahatan yang dipergunakan menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat). Menurut Imam Ar-Razi mena’rifkan bahwa maslahah mursalah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Syarat-Syarat Maslahah Mursalah adalah sebagai berikut :
                                                             i.        Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan
                                                           ii.        Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh
                                                          iii.        Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum yang dituju oleh syar’i
                                                         iv.        Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar[14]

c.     Urf (Adat)
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering diartikan dengan al-ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Menurut Ibnu Humamdan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Dari adanya ketentuan urf atau adat itu sesuatu yang harus dikenali, diakui dan diterima oleh banyak orang sehingga terlihat ada kemiripan dengan Ijma’.
Para ulama menggunakan urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk urf tersebut yakni :
                                        i.     Adat atau urf bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat
                                      ii.     Adat atau urf berlaku umum dan merata dikalang orang yang berada di lingkungan adat itu
                                     iii.     Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu bukan urf yang muncul kemudian.
                                    iv.     Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti[15].

d.     Istishab
Kata istishab secara estimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال) yang bermakna استمر ارالصحبة kalau kata الصحبة diartikan dengan teman atau sahabat dan استمارار diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai. Sedangkan secara terminologi, terdapat definisi yang dikemukakan oleh Imam Nahrawi menyatakan bahwa Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada orang lain yang mengubah hukum-hukum tersebut[16].
Istishab memiliki beberapa persyaratan yang mana diantaranya adalah :
1.       Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhask terhadap haknya terdahulu.
2.       Hanafiyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentasbitkan[17].

e.     Adz-Dzari’ah
Arti “adz Dzari’ah” adalah jalan (wasilah) menuju sesuatu. Jalan yang dimaksud disini ialah jalan menuju hukum syariat Islam. Ringkasnya dalam syariat Islam terdapat dua segi, yakni tujuan dan wasilah menuju tujuan. Hukum wasilah mengikuti hukum tujuan. Dasar kesimpulan tersebut ialah penelitian. Karena terbukti apabila Allah Swt melarang sesuatu, Ia juga melarang semua yang akan menyampaikan kepadanya.[18]


[1] Rahmat Syafe’i, Fiqh Mu’amalat, Bandung,Pustaka Setia, 2004
[2] Susanto SHI, https://susantoshi.wordpress.com/2009/05/05/pengertian-fiqih-islam/
[3] http://shohifu.blogspot.co.id/2013/05/perkembangan-fiqih-pada-masa-kenabian.html
[5] https://islamislami.com/2016/03/30/sejarah-perkembangan-fiqih-islam/
[6] http://pandawa-muhammadthoyyib.blogspot.co.id/2012/01/perkembangan-fiqh-pada-masa-khulafaur.html
[7] Khallaf,  Abdul Wahhab, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000
[8] Moh, Andi Afandi, Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqh, UIN Sunan Gunung Djati;Bandung, 2009
[9] http://mribonkblogg.blogspot.co.id/2011/06/objek-ilmu-fiqh-dan-pembagian-hukum.html
[10] Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al ijtihad Fi Al Islam, Kuwait
[11] Romli, Ushul Fiqh, Palembang; IAIN Raden Patah Press, 2006, hal 84
[12] Seri, Ushul fiqih, Jakarta; PT.Bumirestu, 1980, hal 18
[13] http://www.iswahyudi-wahyu.top/2016/04/al-qiyas-pengertian-syarat-rukun-macam.html
[14] Drs. Chaerul Umam,Dkk, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia, 1998
[15] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2
[16] Safar, Muhammad, http://safarbrow.blogspot.co.id/2013/02/makalah-ushul-fiqih-istishab.html
[17] ibid
[18] ibid

No comments:

Post a Comment