NORMA-NORMA
AKAD DALAM FIQH ISLAM
3.1.
Sekilas Tentang Sejarah Akad dan Alat Akad
Sebelum Islam datang, akad dilakukan dalam berbagai bentuk dengan
cara-cara tertentu seperti berikut :
a.
Dalam
hukum romawi, akad seperti jual-beli, perkawinan dan lainnya dilakukan dengan
cara khusus, tanpa upacara tersebut tidak dianggap akad. Syarat jual beli di
kalangan mereka adalah barang yang diperjualbelikan harus berada di tempat
pelaksanaan akad jual beli. Obyek juga terbatas pada barang bergerak.
b.
Pada
kalangan komunitas Arab Jahiliyyah akad jual beli lebih mencerminkan kebebasan
dan keinginan salah satu pihak yang berakad. Seperti Ba’i mulamasah, munabazah,
ilqo’ al hajr.
c.
Pada
masa Rasulullah, beliau melarang jual beli yang dilakukan oleh kalangan Arab
Jahiliyyah. Hukum Islam datang untuk membuka dan melepaskan sistem akad yang
absurb dan menguntungkan salah satu pihak.
Menjadikan Ijab Qabul sebagai bentuk ekspresi dari dua keinginan atau
kehendak dari pihak yang melakukan akad[1]
3.2.
Dasar-Dasar Akad Dalam Hukum Islam
3.2.1. Makna
Akad
Akad
secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab, yaitu Ar-Rabtu yang
berarti menghubungkan atau mengaitkan, atau mengikat antara beberapa ujung
suautu. Suhendi (2008;44-45) mengemukakan pengertian Akad secara etimologis
berarti mengikat atau mengumpulkan dalam dua ujung tali.
Secara
istilah menurut pendapat ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah terdapat
dua pembagian dimana :
a.
pengertian
secara luas adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginan sendiri. Seperti wakaf, talak, pembebasan, atau keinginanan dua orang
seperti jual beli, perwakilan dll.
b.
Pengertian
secara khusus adalah ikatan yang ditetapkan dengan ijab Qabul berdasarkan
ketentuan syariah yang berdampak pada hukum tertentu.
Dari uraian diatas dapat difahami
bahwa setiap akad mencakup tiga hal yakni : 1. Perjanjian, 2. Persetujuan, 3.
Perikatan[2].
3.2.2.
Macam-Macam Akad
Menurut suhendi (2008: 50-55) dan
Syafie (2001: 66-70), macam-macam akad dibedakan sebagai berikut :
a.
Akad
tanpa Syarat (‘aqad munjiz), yaitu akad yang dilaksanakan langsung oada
waktu selesainya akad tanpa memberikan batasan.
b.
Akad
bersyarat (ghairu munjiz) yaitu akad yang didalam pelaksanaannya
terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad. Akad ghairu munjiz
dibendakan menjadi 3 macam sebagai berikut :
i.
Syarat
ketergantungan atau ta’liq maksudnya menentukan hasil suatu urusan dengan
urusan lain.
ii.
Ungkapan/ta’yid
maksudnya ucapan yang sebenarnya tidak menjadi lazim (wajib) dalam keadaan
mutlak atau syarat berupa ucapan saja.
iii.
Syarat
penyandaran/idhafah maksudnya adalah melambatkan hukum tasarruf qauli
ke masa yang akan datang.
c.
Akad
Mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai
penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan
hingga waktu yang ditentukan[3].
3.2.3.
Prinsip Syari’at Tentang Memahami Akad
Dalam hukum Islam telah menetapkan
beberapa prinsip akad yang berpengaruh kepada pelaksana akad yang dilaksanakan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut :
a.
Prinsip
kebebasan berkontrak
b.
Prinsip
pernjanjian itu mengikat
c.
Prinsip
kesepakatan bersama
d.
Prinsip
bersama
e.
Prinsip
keadilan dan keseimbangan prestasi
f.
Prinsip
kejujuran (amanah)[4]
3.2.4.
Rukun Akad
Setelah diketahui akad merupakan
suatu perbuatan yang sengaja dibuat dua orang atau lebih. Maka rukun dari akad
ialah :
a.
‘aqid
adalah orang yang berakad terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu
orang, terkadang terdiri dari beberapa orang.
b.
Ma’uqud
alaih, ialah benda-benda yang di akadkan.
c.
Maudhu’
al-‘aqd yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
d.
Sighat
al-aqd ialah ijab qabul. Ijab permulaan penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Qabul
ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah
adanya ijab[5].
3.2.5.
Syarat Akad
Secara umum, para ulama fiqh
menetapkan syarat dalam pembuatan akad, yakni syarat-syarat umum suatu akad
adalah :
a.
Para
pihak yang melakukan akad telah cakap menurut hukum (mukallaf)
b.
Memenuhi
syarat-syarat obyek akad :
i.
Obyek
akad telah ada ketika akad dilangsungkan
ii.
Obyek
akad sesuai syariat
iii.
Obyek
akad harus jelas dan dikenali
iv.
Obyek
akad dapat diserah terimakan
c.
Akad
tidak dilarang oleh nash Al-Qur’an dan Hadits
d.
Akad
yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait akad tersebut.
e.
Akad
harus bermanfaat
f.
Pernyataan
ijab harus tetap utuh dan sahih sampai terjadinya qabul
g.
Ijab
qabul dinyatakan dalam satu majelis
h.
Tujuan
akad harus jelas dan diakui oleh syara’[6].
[1]
Syathiri, Ahmad, https://ahmadsyathiri.blogspot.co.id/2011/02/pengertian-dan-sejarah-akad.html
[2]
Nawawi, Ismail, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2012
[3]
ibid
[4]
https://kingilmu.blogspot.co.id/2015/08/pengertian-tujuan-syarat-rukun-dan.html
[5]
Ibid
[6]
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-akad-definisi-rukun-syarat.html
No comments:
Post a Comment